Minggu, 07 Februari 2010

Kampung Halaman (Dsun Sendang Harjo,Kecamatan Karang Rayung,Kab.Grobogan,Jawa Tengah)

Karangrayung, Grobogan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Langsung ke: navigasi, cari
Kecamatan Karangrayung
Locator Kecamatan Karangrayung ing Kabupaten Grobogan.png
Peta lokasi Kecamatan Karangrayung
Provinsi Jawa Tengah
Kabupaten Grobogan
Camat Drs.Eko Sugiyanto,SE,MM
Luas - km²
Jumlah penduduk -
 - Kepadatan - jiwa/km²
Desa/kelurahan 19 Desa
Karangrayung adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Grobogan, Provinsi Jawa Tengah, Indonesia. Memiliki potensi sumber daya alam cukup baik, diantaranya batu kapur yang dapat menjadi bahan baku pembuatan semen. Komoditi mayoritas dari daerah ini antara lain kayu jati, mahoni, padi, tembakau, jagung, dsb. Wilayah selatan ibu kota Kecamatan tepatnya di Desa Sumberjosari, Ketro, Gunungtumpeng, Sendangharjo merupakan wilayah hutan jati yang sebagian besar dikelola oleh Perhutani. Selain itu banyak penduduk yang membudidayakan pohon jati di pekarangan mereka karena dapat tumbuh subur serta nilai jual yang relatif tinggi. Pada daerah bagian Timur seperti di Desa Cekel, Mangin, dsb pada musim kemarau menghasilkan tembakau kualitas bagus. Di Desa Sumberjosari tepatnya pada Selatan Sendang Krandekan terdapat BBI (Balai Benih Ikan) yang dikelola oleh Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Grobogan. Budidaya ikan cukup bagus disokong oleh sumber mata air yang lancar. Ekonomi Kecamatan Karangrayung berkembang baik mengingat letaknya yang cukup dekat dari ibukota Kabupaten dan Ibukota Kecamatan. Rata-rata penduduk bekerja pada bidang pertanian dan infrastruktur pada kota besar seperti Semarang dan Solo. Kecamatan Karangrayung mempunyai lembaga keuangan antara lain Bank BRI, BKK, BMT, dan beberapa Koperasi.

[sunting] Desa/kelurahan

Sabtu, 06 Februari 2010

Api Abadi Mrapen

Mrapen

Terletak di tepi jalan raya Purwodadi-Semarang, berjarak + 26 Km dari kota Purwodadi. Tepatnya di Ds. Manggarmas, Kecamatan Godong. Di komplek ini terdapat beberapa keanehan alam yang dapat dinikmati yaitu Api Abadi; merupakan pesona yang timbul dari keluarnya api dari dalam tanah yang tidak pernah padam walaupun turun hujan. Dari tempat inipula diambil api untuk penyalaan obor dalam kegiatan Pesta Olah Raga Nasional ( GANEPO I ), PON maupun untuk upacara hari raya Waisak.
Sendang Dudo; sebuah sendang yang terletak didekat api abadi, dimana airnya senantiasa kelihatan mendidih tetapi tidak panas. Letupan air itu akan menyala bila kena api. Disamping keanehan alam diatas, di komplek ini juga tersimpan sebuah Batu Umpak atau "BATU BOBOT" yang oleh masyarakat setempat dikeramatkan. Setiap malam jum`at kliwon selalu ramai dikunjungi oleh para penziarah dengan maksud tertentu.

This long Life Fire is located in the way from Purwodadi to Semarang. It is about 26 kilometres from Purwodadi. Exactly it is located in Manggarmas vilage, Godong district. In this place there are some natural peculiarities that can be enjoyed.
For example :
* Long Life Fire : is an attractive thing that comes from fire that appear from the earth that never end although it's rain. From this place, fire is taken to make burn torch, for International Sport Festival ( GANEFO I ), PON and Waisak ceremony too.
* Sendang Dudo ( Dudo Well ) : is a well that is situated near by the Long Life Fire Mrapen. here the water is always look loiled but it isn't hot. That water's explosion will be burned when touched by fire.
Besides these natural peculiarities, there is Batu Umpak ( Umpak Stone ) or Bobot Stone. People called it as a supernatural stone. Every Jum'at kliwon (Friday Kliwon) there are many people with their certain aim come this place.

Makam Ki Ageng Selo ( Purwodadi,Kab.Grobogan )

Makam K.A Selo

Makam Ki Ageng Selo teletak di desa Selo, kecamatan Tawangharjo 10 km sebelah timur kota Purwodadi sebagai obyek wisata spiritual, makam Ki Ageng Selo ini sangat ramai dikunjungi oleh para peziarah pada malam jum'at, dengan tujuan untuk mencari berkah agar permohonannya dikabulkan oleh Tuhan YME. Ki Ageng Selo sendiri menurut cerita yang berkembang di masyarakat sekitar khususnya atau masyarakat jawa umumnya, diakui memiliki kesaktian yang sangat luar biasa sampai - sampai dengan kesaktiannya ia dapat menangkap petir.



Ki Ageng Selo dipercaya oleh masyarakat jawa sebagai cikal bakal yang menurunkan raja - raja di tanah Jawa. Bahkan pemujaan kepada makam Ki Ageng Selo sampai sekarang masih ditradisikan oleh raja - raja Surakarta dan Yogyakarta. Sebelum Gerebeg Mulud, utusan dari Surakarta datang ke makam Ki Ageng Selo untuk mengambil api abadi yang selalu menyala di dalam makam tersebut. Begitu pula tradisi yang dilakukan oleh raja - raja Yogyakarta. Api dari sela dianggap sebagai api keramat

Mrapen Abadi

Mrapen Abadi

Pada akhir Majapahit, berdirilah kerajaan Demak yang didirikan Raden Patah dibantu oleh para Wali dan guru agama. Akhirnya oleh Prabu Brawijaya, Raden Patah diijinkan dan bahkan diangkat menjadi Bupati di Bintara Demak pada tahun 1503. Kemajuan Bintara sangat pesat dan pengaruhnya sampai menyusup ke daerah Majapahit. Beberapa bangsawan Majapahit sudah mulai masuk Islam. Tahun 1509 Raden Patah diangkat sebagai Sultan Demak dengan Gelarnya Sultan Jimbun Ngalam Akbar atau Panembahan Jimbun. Dia memerintah sampai tahun 1518 dan digantikan oleh Adipati Umus (1518 – 1521). Usaha penaklukan Majapahit baru terlaksana pada tahun 1525, yaitu pada masa kekuasaan Sultan Trenggono ( 1521 – 1546 ).
Dengan keruntuhan Majapahit tahun 1525, maka kerajaan Demak sebagai kerajaan Islam di Jawa menjadi penguasa tunggal. Sedang sisa - sisa penguasa Majapahit yang tidak mau tunduk ke Demak memindahkan pusat kerajaannya ke Sengguruh. Ada pula yang menyingkir ke Ponorogo dan lereng Gunung Lawu.

Setelah R. Patah menjadi raja dia mulai menata wilayah kerajaan. Kota Demak dijadikan pusat pemerintahan, pusat perdagangan dan pusat pendidikan dan penyebaran agama Islam ke seluruh Jawa. Sebagai lambang negara Islam dibangunlah sebuah masjid Agung yang merupakan perpaduan antara budaya Islam dengan budaya Hindu.
Ekspedisi pemboyongan dipimpin oleh Sunan Kalijaga tampak berjalan lancar. Setelah sampai di Mrapen mereka merasa sangat lelah. Kemudian rombongan itu beristirahat disitu. Karena tidak ada air untuk minum, maka Sunan Kalijogo bersemedi memohon kepada Tuhan diberi air untuk minum para pengikutnya. Tongkat wasiatnya ditancapkannya ke tanah, kemudian dicabutnya. Tetapi yang keluar bukan air namun api yang tidak dapat padam (Api Abadi). Sejak itulah tempat itu disebut Mrapen.
Kemudian di tempat lain dilakukan hal yang sama dan keluarlah pancuran air yang jernih, yang dapat diminum. Demikian rombongan itu minum dan setelah hilang lelahnya mereka melanjutkan perjalanannya ke Demak. Sesampainya di Demak barang - barangnya yang dibawa diteliti. Ternyata ada yang ketinggalan di Mrapen, berupa sebuah ompak (alis tiang). Sunan Kalijaga menyatakan ompak itu tidak perlu diambil sebab nantinya akan banyak gunanya. Batu ompak itu kemudian dikenal dengan Watu Bobot.
Suatu ketika Sunan Kalijaga mengajak Jaka Supo pergi ke hutan mencari kayu jati yang cocok untuk dibuat "Saka Guru“ Masjid Agung Demak. Jaka Suko adalah Putra Tumenggung Mpu Supodriyo, seorang Wedana Bupati Mpu (tukang membuat alat perang dari besi) Kerajaan Majapahit. Pada waktu itu Jaka Supa sendiri telah menjabat sebagai jajar Mpu walaupun dia abdi Majapahit, tetapi dia telah belajar agama Islam pada Sunan Kalijaga.
Selama Sunan Kalijaga mengembara di hutan mencari kayu tersebut, dia berjumpa dengan Dewi Rasa Wulan yang sedang “Tapa Ngidang“. Dewi Rasa Wulan sebenarnya adalah adiknya sendiri yang lari dari Kadipaten Tuban, karena ditawari untuk menikah tidak mau. Oleh Sunan Kalijaga, Dewi Rasa Wulan diajak ke Tuban. Di Tuban dia dikawinkan dengan Jaka Supa.
Pada suatu pagi, ketika Jaka Supa yang telah bernama Mpu Supa “Memadai” ( bahasa Jawa : Mandhe ) membuat keris, datanglah Sunan Kalijaga untuk minta kepada Jaka Supa membuat sebuah keris yang baik. Sunan memberinya bahan berupa besi sebesar biji asam (sak klungsu) Jaka Supa heran, dapatkah besi yang sekian besarnya dapat dibuat keris ? tetapi setelah dipegang ternyata besi itu sangat berat dan berubah menjadi sebesar Gunung. Mpu Supa sangat takut kepada Sunan Kalijaga, maka apa yang menjadi perintah Sunan Kalijaga dikerjakan. Sunan Kalijaga memerintahkan supaya keris dibuat di Mrapen. Maka Mpu Supa pergi ke Mrapen membuat keris tersebut. Untuk pembakarannya digunakan api abadi. Watu Bobot digunakan sebagai landasannya. Sedang air sendang juga digunakan sebagai penyepuhnya. Aneh, air yang tadinya jernih setelah dipakai untuk menyepuh keris berubah warna menjadi kuning kecoklat - coklatan sampai sekarang.
Setelah keris itu jadi, dalam Serat Babad Demak (M. Atmo Darminto, 1962 : 55 – 56) dinyatakan : (tembang Dandang Gula) :
Sunan Kali angandika aris, Sunan arani kris dapur Sengkelat, dene kris abang warnane, nanging iki tan patut, dipun angge wong laku santri, iki pantes kagema, mring patingginipun, negaraning pulo Jawa, wus pinasthi besuk dadi pusaka ji, kang mengku nusu Jawa.
Lah pundhinen jebeng ingkang becik, bokmanawa Siradarbe darah, kang mengku nusa Jawane, nulya simpenen tinampen gupuh, mring Ki Supa dhuwung pinundhi, dohing maling jeng Sunan, gawekena ingsun, cothen pranti pembelehan, ingkang pantes dianggo wong laku santri, mengko sun golek tosan.

Bledug Kuwu (Api Abadi Mrapen,Grobogan) part I

Bledug Kuwu

Masyarakat Grobogan Purwodadi sudah tidak asing lagi akan adanya “bledhug kuwu“ tersebut, sebab obyek Bledhug Kuwu telah menjadi obyek wisata alam yang menarik di daerah tersebut. Keajaiban alam berupa “plembungan endhut“ yang meletus ( bledhug ) dengan suara letusan yang cukup keras ini memang benar - benar ajaib. Bledhug itu sepanjang zaman tidak putus - putusnya terjadi dilokasi tanah seluas kurang lebih 40 Ha. Bledhug itu ada yang sangat besar, bahkan ada yang sebesar rumah penduduk.
Menurut cerita tutur, bledhug itu terjadi karena ulah Jaka Linglung, Putra Aji Saka atau Prabu Jaka dari kerajaan Medang Kamulan.
Pada satu ketika Jaka Linglung yang berwujud ular naga itu disuruh Aji Saka atau Prabu Jaka membunuh Dewata Cengkar yang telah berubah rupa menjadi seekor buaya putih yang sangat besar, sebagai syarat untuk diakui sebagai anaknya. Jaka Linglung berangkat ke laut selatan tempat Dewata Cengkar bertahta. Dia tidak sabar melalui darat, maka dia melalui dalam tanah, jalan yang dilalui oleh Jaka Linglung itu akhirnya berubah menjadi “tanah lendhut“ Bledhug yang terjadi adalah nafas Jaka Linglung selama dalam perjalanan itu. Jadi menurut kepercayaan orang, ada hubungan bledhug itu dengan laut selatan.
Kenyataan sampai sekarang, air dari bledhug itu mengandung garam dan ditambang oleh penduduk sekitarnya sebagai tambang garam yang diambil dari air bledhug tersebut.
Selanjutnya cerita Jaka Linglung menurut cerita Aji saka, adalah sebagai berikut : Dalam serat primbon Jayabaya ( hal. 23 - 24 ) terdapatlah pasal yang menyebutkan tentang perginya Prabu Esaka dalam bab V Piwulang Dewa, yang berbunyi :
Pun Jaka sengkala anakipun Empu Anggejali, patutan saking Dewi Saka, Putranipun Raja Sarkil ing pulo Najran Sareng Jaka Sengkolo jumeneng nata, jejuluk Sang Aji Saka jengkar saking negaripun lajeng Nga Jawi, tanpo wonten ing redi kandha ( kendeng ? ) tlatah banyuwangi jejuluk Empu Sengkala. Anuju ing Surya Adam, tahun 5164, Chandra 5316, Empu Sengkala macak titimangsa tahun jawi : kaeteng tahun Candra - Sengkala I Warsa. Tahun Rum anuju angka 444 warsa. Tahun Adam tahun Surya 5161 warsa. Tahun Masehi 78 jumenengan nata.

Aji Saka ke tanah Jawa dengan keempat orang muridnya. Di tanah Jawa dia mendirikan perguruan di ujung kulon. Kemudian mengembara sampai ke Galuh. Disini murid - muridnya ditinggalkannya, dan dia terus mengembara ke arah timur. Sampailah dia ke Medang Kamulan, tempat Prabu Dewata Cengkar, raja yang gemar makan manusia, bertahta .
Menurut serat Sindula ( Babat pajajaran, naskah carik ) negara Medang Kamulan dikuasai oleh seorang raja raksasa yang gemar makan manusia, bernama Prabu Dewata Cengkar. Akibat ulah raja itu rakyat menjadi sangat susah, sebab tiap hari harus dapat menyerahkan seorang manusia sebagai santapannya. Prabu Dewata Cengkar itu adalah putra Prabu Sindula, titisan Dewa Wisnu ke dunia di negara Galuh. Prabu Dewata Cengkar berontak kepada ayahnya Prabu Sidula kalah dan Moskwa Dewata Cengkar menggantikan kedudukan ayahnya sebagai raja Galuh. Kerajaan dipindahkan ke Medang Kamulan.
Sementara itu dalam pengembaraan Aji Saka sampailah ke Negara Medang Kamulan itu. Aji Saka datang ke rumah janda sengkeran, seorang janda patih di Medang Kamulan. Disitu, sebagai seorang guru (Brahmana) dia banyak mengajarkan ilmu sastra, ilmu penitisan dan ilmu pengetahuan agama. Dari cerita janda sengkeran diketahui bahwa dalam negara Medang Kamulan sedang dilanda kesusahan yang besar, sebab ulah prabu Dewata Cengkar yang gemar makan manusia. Sebagai seorang Brahmana Aji Saka ingin melepaskan rakyat Medang dari kesengsaraan itu. Maka dia minta kepada janda Sengkeran agar dia haturkan kepada Prabu Dewata Cengkar untuk dijadikan santapannya. Karena kehendak Aji Saka itu tidak dapat dihalangi oleh janda sengkeran, akhirnya Aji Saka dihaturkan ke Prabu Dewata Cengkar untuk dijadikan santapannya .
Di hadapan Prabu Dewata Cengkar, Aji Saka menyatakan mau disantap oleh Sang Prabu asal dapat meluluskan satu permintaannya, yaitu minta tanah seluas kain ikat kepalanya. Sang Prabu tidak keberatan meluluskan permohonan tersebut .
…. Pan apurun dados dhaharing Sang Nata, nanging dharber prajanji nuwun bumi medhang, sawijare kang dhestar, bumi dhen suwun sumiyeh, yen sampun tanpa semonggo karso aji. Serat (Sindula : 17) Demikianlah permohonan Aji Saka tersebut dikabulkan. Destar (Ikat Kepala) diminta oleh prabu Dewata Cengkar, kemudian ditebarkan (dijereng), ternyata kain ikat kepala itu menutupi seluruh daerah Medang Kamulan karena kalah janji, maka Prabu Dewata Cengkar beserta prajuritnya yang setia diusir dari Negeri Medang terjadilah perang yang hebat dan Prabu Dewata Cengkar terpojok di pantai laut selatan, akhirnya dia menceburkan diri ke laut, dan berubah menjadi buaya putih yang merajai laut selatan.
Dyan Dewata cengkar salah kedaden, pan dadi baya putih wis kena ing papa, ceritane kang rama gengiro ka giri - giri, lir endra suta kagila - gila ngajrihi .( Ibit : 18 ) .
Di laut selatan Dewata Cengkar mendirikan kerajaan manusia. Patihnya bernama Adipati Gajah Mina : Bupati Ki Tumenggung Mamprang : prajurit : Haryo Lodan, Ronggo saradulo demang Wikridipo : Ki Pandelengan mina : Santono Tumenggung Mamprang, Harya Kaluyu, Raden Saradula; Demang Wikridipo : Ki Pandelegan Mina : Santapan Tumenggung Mamprang hanya terdapat dua raja yaitu Ratu Kidul dan Prabu Dewata Cengkar. Keduanya saling berebut pengaruh dan saling ingin berkuasa.
Demikianlah setelah Dewata Cengkar kalah dan menjadi buaya putih, Aji Saka diangkat menjadi raja Medhang Kamulan dengan gelar Jaka atau Empu Lodang Widayaka, atau Prabu Aji Saka.
Setelah menjadi raja, Aji Saka ingat akan dua anak abdinya yang ditinggalkan di pulau Mejati, yaitu Ki Dora dan Ki Samboda. Maka diutus abdinya yang lain untuk memanggil kedua abdinya itu. Yang datang adalah Ki Dora sedang Ki Samboda masih tetap di Pulau Majeti menunggui pusaka Aji Saka seperti pesan yang pernah ditinggalkan oleh Aji saka. Melihat kenyataan tersebut, maka Ki Dora disuruh kembali memanggil Ki Samboda dengan membawa keris pusakanya sekali. Tetapi lama sudah kedua abdi itu tidak kembali. Maka Aji Saka memutuskan Ki Duga dan Ki Prayuga ke Pulau Majeti. Dua Prayuga sampailah di Pulau Majeti ditemukan bahwa Ki Dora dan Ki Samboda telah kedapatan mati bersama. Melihat keadaannya keduanya habis berkelahi dan mati sampyuh .
Ing Pulau Mejati Nora kepanggih pun Dora Samboda inulatan, kepanggih mati karone ANACARAKA lampus, labet DATASAWALA sami, sakti PADHAJAYANYA, sakti sareng lamus, MANGGABATANGA sih, sandagane karone magsih sinanding, suku pepet, cokro pengkal. ( Ibit : 21 ) melihat kematian Dora Samboda tersebut, Duga Prayoga segera kembali ke Medang Kamulan, atur periksa kepada Prabu Jaka. Prabu Jaka menerima laporan tersebut sangat sedih sebab sebenarnya dialah yang bersalah. Untuk mengenang peristiwa tersebut maka Prabu Jaka menceritakan CARAKA JAWA yang terdiri dari empat kalimat ( Utusan berjumlah empat orang ) dan masing - masing kalimat terdiri dari 2 huruf Nglegena ( peristiwa itu mengenai lima orang jadi CARAKA JAWA berjumlah dua puluh buah, caraka jawa itu dapat hidup dan berguna bagi kehidupan umat manusia harus disandangi dengan suku, wulu, cakra, cecak, pengkal, taling, taling tarung, layar dan sebagainya. Sedang huruf itu ada beberapa yang mati kalau dipangku
Susunan caraka jawa itu adalah :
HA NA CA RA KA
DA TA SA WA LA
PA DHA JA YA NYA
MA GA BA THA NGA
Caraka jawa tersebut disusun berdasarkan tua mudanya sastra, yaitu “sastra sandi sarimbagi”, setelah ditambah dengan huruf hidup : I, o, u, e, e menjadi berjumlah 25 buah kemudian ditambah lagi dengan pengkal, cakra, keret, cecak dan wignyan jumlah menjadi 30 buah. Lengkaplah sudah cara jawa dapat hidup dan kehidupan manusia didunia .
Dengan karya tersebut menandakan bahwa Aji Saka adalah seorang Brahmana yang wignya, mahir dalam segala ilmu dan ngilmu lahir dan batin. Walaupun sudah menjadi raja, Aji Saka masih tetap melalukan kesenangan lamanya, yaitu pergi menyepi, bertapa di hutan dan gunung keramat .
Pada suatu hari Aji Saka sedang menyepi di hutan dia melihat seekor ular naga yang sedang bertapa di sebuah goa. Aji Saka panas hatinya, ular tersebut dibunuhnya setelah ular naga itu mati terdengarlah suara .
Sikaara mateni ulo taami, busuk tembe Prabu Saka sirna anggabung kelanange pujangga muskha sampun ( Ibit : 44 ).
Suara tersebut berasal dari arwah ular naga yang mati itu. Dan umpatan ular itu nantinya menjadi kenyataan. Pada suatu hari Aji Saka ingin nantinya menjadi kenyataan. Pada suatu hari Aji Saka ingin menengok Nyai Janda Sengkeran. Dahulu ketika dia datang pertama kali di negara Medang Kamulan dia mengetahui Nyai Janda mempunyai seorang anak perempuan yang cantik putri tersebut sekarang mestinya sudah dewasa anak itu bernama Retno Dewi Rarasati. Ketika dia sampai ke rumah janda tersebut dia melihat Retno Dewi Rarasati sedang menumbuk padi. Kainnya terbuka keatas dan kelihatanlah pahanya yang mulus. melihat hal tersebut Aji Saka jatuh birahinya. Dia tidak menahan asmaranya maka jatuhlah air maninya ke bumi kebetulan pada waktu itu ada seekor ayam kate putih simbar delima milik Nyi janda. Air mani itu dimakannya kemudian pergi dilain pihak Retno Dewi Rarasati melihat Aji Saka seperti kena gendam dan jatuh cinta nafsu asmaranya tidak tertahankan, maka noktahnya jatuh cinta. Nafsu asmaranya tidak tertahankan maka noktahnya jatuh ke bumi. Noktah itupun dimakan oleh ayam kate tersebut .
Kehendak Dewata tidak dapat diingkari. Ayam tersebut kemudian bertelur sebutir. Prabu Aji Saka sangat malu dengan peristiwa tersebut, inilah pembalasan ular naga yang mati di bunuhnya selanjutnya telur tersebut diambil nyi janda dan ditaruh di padaringan. Aneh, beras di padaringan tidak habis - habis walaupun tiap hari diambil berasnya bahkan bertambah banyak. Kemudian telur itu dipindahkan kelumbung tempat menyimpan padi. Dilumbung telur itu menetas menjadi seekor ular naga yang sangat besar, Nyi janda Sengkeran sangat takut pada ular itu kemudian dia berlari untuk menghadap patih melaporkan peristiwa tersebut. Kemanapun Nyi janda pergi selalu diikuti ular naga tersebut. Akhirnya sampailah kehadapan patih terngger. Ki Patih sangat takut melihat ular tersebut lebih mengherankan lagi bahwa ular itu dapat berbicara seperti manusia .
Pujangga Gumuyu suka, kaki patih ojo wedi lan tho payo podha lengah, mengko suntutur rumiyen, Ki patih langkung ajrih, gumeter nggennyo alungguh, ngucap gugup agreragapan. Tik saka apa siriki, tanpa sangkan sumabur ponang pujangga. Tata jalma bisa ngucap. Kulo niki kaki patih, arsa sowan Kanjeng Rama ing Medang Srinarapati. Ki Dipati marijrih, wus sarep ing penggalih ( serat sindula : 46 ) .
Mendengar perkataan ular yang dapat bercakap - cakap layaknya seperti manusia Ki Patih tidak lagi. Maka dia melaporkan hal tersebut kepada Prabu Jaka. Menerima laporan tersebut, raja sangat malu. Dia teringat akan peristiwa masa lalu dengan Retno Dewi Rarasati. Kenyataan itu harus dihadapi dan diterimanya. Akhirnya dia berkata, bahwa laporan itu dia terima dan ular itu diberi nama ular linglung atau Jaka linglung. Raja mengakui sebagai putranya dengan syarat Jaka Linglung dapat membunuh mungsuh utamanya, yaitu Dewata Cengkar, yang sekarang telah beralih menjadi buaya putih bertahta di laut selatan. Jaka linglung menyanggupinya. Maka berangkatlah dia ke laut selatan. Jalan yang dilaluinya menjadi rata, maka dia masuk ke bumi, dan timbul kembali ke laut selatan.
Ingkang kamargen waradin nadyan jurang pan wiradin, kasuwen ambeles mangidul, lebul telengin samudro. [ ibit ;48 ]
Di laut selatan, dia ketemu dengan Ratu Angin ( Ratu Kidul ) yang sedang dilanda kesedihan, karena rakyatnya sedang mendapat gangguan hebat dari rakyat buaya putih Dewata Cengkar. Mengetahui kedatangan Jaka Linglung hendak membunuh Dewata Cengkar itu, Ratu Kidul sangat senang hatinya. Bahkan dia berjanji bila jika linglung dapat membunuh Dewata Cengkar, dia akan mengabdi kepadanya. Dijadikan Raja Selatan, walaupun sebentar, dia akan dijadikan menantunya dikawinkan dengan anaknya : Retno Blorong, kenyataannya Jaka dapat membunuh Dewata Cengkar dan janji Dewi Angin Angin dipenuhi (Ranggawarsito; Witorotyo 111, 1992 , 122 -12 ).
Setelah beberapa lama di laut selatan, Jaka Linglung minta ijin kepada Ratu Kidul untuk kembali ke Medang Kamulan. Berangkatlah dia dengan Istrinya Retno Blorong ke Medang Kamulan.
Dia mengarah ke barat, lewat Samudra, masuk ke dalam tanah, timbul kembali di tanah pasundan. Masuk ke tanah lagi timbul di Jawa Tengah itu sebabnya di Jawa banyak ditemukan sumber air yang mengandung garam ( Bleng ), sebab sumber itu merupakan petilasan Jaka Linglung tersebut. Dalam perjalanannya diteruskan ke timur lewat bawah tanah dan muncul kembali ke Demak di Desa Walak. Masuk ke tanah lagi dan muncul kembali di Grobogan dan berhenti di rawa - rawa garam .
Medal teleng jalat ri ambles pratala weruh benggang jebul ngardi nenggih in Pasundan milo ing sak puniko kuto Bleng ing tanah jawi, patilasan niro sang Linglung ngudi milo malih majin bumi jebul Demak, ing wala wastaniki, ambles malih ing pantala, anjebol ing Grobogan ing Ngumpak lami.(Sindula : 52).
Dari Ngembak ( Rawa - rawa ? ) Jaka Linglung meneruskan perjalanan ke Banyuwangi, terus ke Jana Cerewek, ke Banjar, Dikil. Di Jati, Jaka Linglung tidur, disitu upasnya jatuh. Tempat jatuhnya upas itu kemudian dinamakan Desa Gasak. Disinilah kemudian ada “Bleduk Upas“ yang tidak dapat dimakan. Jaka Linglung melanjutkan perjalanan sampai ke Kuwu. Disini agak lama. Dari Kuwu inilah Jaka Linglung datang menghadap Prabu Jaka di Medang Kamulan sejak itulah dia diterima sebagai Putera Prabu Jaka. Oleh Prabu Jaka, Jaka Linglung diangkat sebagai Putra Mahkota dengan gelarnya Prabu Anom Linglung Tunggul Wulung. Istana Kadipaten kemudian dipindahkan ke Desa Kesanga. Sedang istrinya Retno Blorong ditempatkan di Grobogan di Desa Ngembak, wilayah Medang Kana. Kedaton Kesanga disebut pula Kedaton Kadipaten, Tumenggungan, Kariyan Panggabean atau Kranggan. Beberapa waktu menjadi Adipati Anom Tunggul Wulung kemudian pergi bertapa di Tunggul Wulung Kesanga.

Bledug Kuwu (Api Abadi Mrapen,Grobogan) part 2

Bledug Kuwu adalah sebuah kawah lumpur (mud volcano) yang terletak di Desa Kuwu, Kecamatan Kradenan, Kabupaten Grobogan, Propinsi Jawa Tengah. Tempat ini dapat ditempuh kurang lebih 28 km ke arah timur dari kota Purwodadi. Bledug Kuwu merupakan salah satu obyek wisata andalan di daerah ini, selain sumber api abadi Mrapen, dan Waduk Kedungombo. Obyek yang menarik dari bledug ini adalah letupan-letupan lumpur yang mengandung garam dan berlangsung terus-menerus secara berkala, antara 2 dan 3 menit.

[sunting] Geologi

Secara geologi, kawah lumpur Kuwu, sebagaimana kawah lumpur lainnya, adalah aktivitas pelepasan gas dari dalam teras bumi. Gas ini biasanya adalah metana. Kuwu adalah satu-satunya yang berlokasi di Jawa Tengah. Letupan-letupan lumpur yang terjadi biasanya membawa pula larutan kaya mineral dari bagian bawah lumpur ke atas. Banjir lumpur panas Sidoarjo juga diakibatkan oleh kawah lumpur, meskipun untuk yang terakhir ini tingkat aktivitasnya lebih tinggi.

[sunting] Kandungan garam


Ladang garam di sekitar kawah lumpur.
Lumpur dari kawah ini airnya mengandung garam, oleh masyarakat setempat dimanfaatkan untuk dipakai sebagai bahan pembuat garam bleng (IPA: /bləng/) secara tradisional. Caranya adalah dengan menampung air dari bledug itu ke dalam glagah (batang bambu yang dibelah menjadi dua), lalu dikeringkan.

[sunting] Legenda

Menurut cerita turun temurun yang beredar di kalangan masyarakat setempat, Bledug Kuwu terjadi karena adanya lubang yang menghubungkan tempat itu dengan Laut Selatan (Samudera Hindia). Konon lubang itu adalah jalan pulang Joko Linglung dari Laut Selatan menuju kerajaan Medang Kamulan setelah mengalahkan Prabu Dewata Cengkar yang telah berubah menjadi buaya putih di Laut Selatan. Joko Linglung konon bisa membuat lubang tersebut karena dia bisa menjelma menjadi ular naga yang merupakan syarat agar dia diakui sebagai anaknya Aji Saka.

Selasa, 26 Januari 2010

Masalah Itu Tantangan Untuk Maju (Cina Story)

Cina yang sekarang muncul sebagai negara super power dahulunya pernah sangat miskin. Dengan jumlah penduduk yang berjumlah 1 milyar kala itu bukan barang mudah bagi pemerintah Cina untuk mensejahterakan rakyatnya. Hutang luar negeri dari negara tetangga terdekat pun menjadi gantungan yaitu dari negara Uni Sovyet.

Alkisah suatu hari terjadi perselisihan paham antara Mao Zedong pemimpin Cina era itu dengan pemimpin Sovyet. Perselisihan begitu panas sampai keluar statement dari pemimpin Sovyet, "Sampai rakyat Cina harus berbagi 1 celana dalam untuk 2 orang pun, Cina tetap tidak akan mampu membayar hutangnya."

Ucapan yang sangat menyinggung perasaan rakyat Cina itupun disampaikan Mao kepada rakyatnya dengan cara menyiarkannya lewat siaran radio, penghinaan dari pemimpin Sovyet itu, secara terus menerus dari pagi hingga malam ke seluruh negeri sambil mengajak segenap rakyat Cina untuk bangkit dan melawan penghinaan tersebut dengan cara berkorban.

Ajakan Mao kepada rakyatnya adalah menyisihkan 1 butir beras, ya, hanya 1 butir beras untuk setiap anggota keluarga, setiap kali mereka akan memasak. Jika 1 rumah tangga terdiri dari 3 orang maka cukup sisihkan 3 butir beras. Beras yang disisihkan dari 1 Milyar penduduk Cina tersebut, tidak dikorupsi tentunya akan menghasilkan 1 milyar butir beras setiap hari. Hasilnya dikumpulkan ke pemerintah untuk dijual. Uangnya digunakan untuk membayar hutang kepada negara pemberi hutang, yang telah menghina mereka. Akhirnya Cina berhasil melunasi hutang mereka ke Sovyet dalam waktu yang sangat cepat.

Keterhinaan yang mendalam telah membangkitkan rasa nasionalisme Cina untuk bangkit melawan hinaan tersebut dengan tindakan nyata, bukan hanya tindakan seremonial, pidato atau upacara di stadion besar.

Kiranya kisah ini bisa dijadikan contoh bagi bangsa kita yang tengah terpuruk di antara bangsa-bangsa sekitarnya. Potensi manusia Indonesia yang demikian besar selama ini tidak menjadi kekuatan bahkan sebaliknya
menjadi beban. Sungguh sangat disayangkan...

Kita sering silau oleh hal-hal besar namun seringkali mengabaikan kekuatan dari hal kecil namun dilakukan dengan sepenuh hati. Sebutir padi sehari bisa membalik keadaan terhina menjadi terangkat. Maukah kita?

(Kisah ini diceritakan langsung oleh seorang pengusaha Indonesia yang kerap kali berkunjung ke negara Cina).